News  

Nasib Direksi Kahayan Karyacon: Dari Rekayasa Kasus, Dakwaan Ngibul, Hingga Tuntutan Ngawur

Redaksi LFnews

 

Jakarta – Saya merenung cukup lama untuk mendapatkan judul tulisan yang mampu menggambarkan situasi dan kondisi yang melingkari rekan saya, Leo Handoko. Saya mengenal pria berusia sekitar 40-an tahun itu pada awal 2018. Sebagai Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia, saya diperkenalkan kepada WNI dari etnis China-Singkawang itu oleh rekan PPWI saya yang tinggal di Jawilan, Cikande, Kabupaten Serang, Banten.

Leo Handoko, bersama kakaknya Ery Biyaya, mengelola sebuah perusahaan batu bata ringan atau lebih populer disebut hebel, bahan bangunan yang bekalangan banyak dipakai untuk pembangunan perumahan penduduk maupun gedung bertingkat. Perusahaan yang diberi nama PT. Kahayan Karyacon itu merupakan milik dari tujuh pemegang saham. Mereka adalah Mimihetty Layani dan Christeven Mergonoto, masing-masing sebagai Komisaris Utama dan Komisaris; serta Chang Sie Fam, Feliks, Paulus, Ery Biyaya, dan Leo Handoko. Dalam Akta Notaris pendirian perusahaan, Chang Sie Fam didapuk sebagai Direktur Utama, lainnya menjabat sebagai direktur [1].

Perusahaan yang didirikan pada tahun 2012 itu mulai aktif beroperasi menjalankan usaha pabrik pembuatan hebel pada tahun 2014. Selama dua tahun awal, kegiatan perusahaan adalah pencarian lokasi, pembangunan gedung pabrik dan pemasangan mesin-mesin pembuat hebel.

Paulus, saat produksi pabrik baru berjalan, menyatakan mengundurkan diri sebagai salah satu dewan direksi. Alasannya, sibuk dengan kegiatan bisnisnya sendiri. Yang aktif secara langsung mengelola operasional pabrik hanyalah Ery Biyaya dan Leo Handoko.

Chang Sie Fam yang adalah ayah dari Feliks, Ery Biyaya, dan Leo Handoko, yang tidak lain adalah juga mertua dari Paulus, hanyalah lambang saja. Ibaratnya, pinjam nama untuk dimasukan dalam Akta Notaris. Beliau yang akrab dipanggil Babe oleh anak-anaknya itu tidak pernah sedikitpun melibatkan diri dalam urusan perusahaan tersebut.

Feliks, anak tertua di antara mereka, sibuk mengelola bisnis toko materialnya bersama istri. Dia juga menjalankan profesi lainnya sebagai kontraktor. Feliks tidak bisa aktif membantu secara langsung mengelola pabrik perusahaan hebel itu.

Praktis, hanya dua bersaudara yang tertinggal, yakni Ery Biaya dan Leo Handoko yang menjalankan perusahaan selama ini. Dengan segala kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki, keduanya bertahan mengelola pabrik perusahaan yang mempekerjakan hampir 200 orang karyawan tersebut.

Dewan Komisaris? Keduanya yang domisili tetap di Surabaya itu tentunya sangat sibuk dengan aktivitas mereka. Untuk diketahui bahwa Mimihetty Layani adalah istri dari Soetomo Mergonoto, pemilik perusahaan Kopi Kapal Api [2]. Sedangkan Christeven adalah anak dari Mimihetty dan Soetomo Mergonoto. Hingga detik ini, keduanya belum pernah sekalipun mendatangi atau meninjau perusahaan di Jawilan, Serang dimaksud.

Baca juga -->  Tidak Becus Tangani Kasus Penculikan Anak, Pimpinan Polri Perlu Evaluasi Aparat Polres Cianjur

Kedua kakak-beradik, Ery dan Leo, menjadi pendekar yang setiap hari menghadapi dan mengatasi segala persoalan yang muncul dalam perjalanan hidup perusahaan Kahayan Karyacon. Mengatur dan mengayomi 200-an karyawan pabrik dengan berbagai karakter dan perangai masing-masing tentulah merupakan beban dan tantangan yang tidak ringan. Namun, selama produksi awal pabrik hingga pada tahun ketiga berporduksi, keduanya mampu bertahan dan memberi kontribusi bagi masyarakat sekitar, minimal karyawannya.

Jawilan adalah salah satu wilayah padat pabrik. Daerah ini menjadi salah satu area industri yang luas di Kabupaten Serang. Ratusan perusahaan dengan pabrik-pabrik besar yang memproduksi berbagai kebutuhan hidup manusia berdiri di Jawilan. Industri kecil dan rumah tangga juga tidak terhitung jumlahnya. Sekitar 5 buah perusahaan di sini bergerak dalam bidang produksi hebel. Kondisi ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi PT. Kahayan Karyacon, yakni memenangkan persaingan memperebutkan pasar hebel.

Januari 2018, datanglah bakal pemicu pertengkaran antara Dewan Direksi, yang secara ril hanya dilakoni bedua Ery Biyaya dan Leo Handoko, dengan Dewan Komisaris. Pada Januari kelabu itu, Leo Handoko bermaksud membuka rekening perusahaan di Bank BCA. Penyebabnya adalah karena mitra kerja (pelanggan hebel) lebih menyukai transaksi dilakukan melalui rekening BCA. Mereka enggan bertransaksi menggunakan rekening Bank Danamon yang dimiliki PT. Kahayan Karyacon selama ini.

Ketika Leo Handoko mendatangi Customer Service BCA, pihak BCA meminta dokumen Akta Notaris perusahaan yang masih valid. Pada saat itulah diketahui bahwa masa berlaku Akta Notaris PT. Kahayan Karyacon sudah berakhir di tahun sebelumnya, yakni 2017.

Menyadari bahwa akta notaris perusahaannya sudah kedaluwarsa, Leo Handoko menghubungi notaris Ferri Santosa, SH, MKn untuk menanyakan apakah notaris itu dapat memperbaharui akte notaris Kahayan Karyacon. Notaris menyatakan bisa dan sanggup membuatkan akte perobahan. Tindakan memperbaharui akte ini juga perlu dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan. Sebab jika tidak, maka perusahaan dapat dinilai beroperasi secara tidak sah sebab menggunakan dokumen yang sudah melewati masa berlaku alias sudah kedaluwarsa.

Singkat cerita, akte notaris telah berhasil dibuat oleh Notaris Ferry Santosa. Isinya persis sama dengan akta notaris awal dan akta-akta perubahan yang sudah dibuat sebelumnya, terutama pada komposisi pemegang saham, susunan pengurus perusahaan, dan nominal saham masing-masing pemegang saham. Salah satu kelalaian mendasar dalam penerbitan akta notaris perpanjangan, dan akta perubahan lainnya, adalah bahwa semuanya itu dibuat tanpa didahului pengambilan keputusan para pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Baca juga -->  Jiwasraya Mati Suri, Lord Bakrie Memang Mahasakti

Bahkan, Akta Notaris Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pendirian PT. Kahayan Karyacon tidak ditanda-tangani oleh para pihak di depan notaris sebagaimana ketentuan peraturan perundangan. Akte itu ditanda-tangani di rumah masing-masing, termasuk Mimihetty Layani yang saat itu berada di kediamannya di Surabaya. Parahnya lagi, tanda tangan Christeven Mergonoto diduga dipalsukan, karena pada tahun 2012 itu, Christeven sedang studi di Amerika Serikat.

Entah didorong oleh motivasi apa dan oleh siapa, tiba-tiba pada akhir 2018 hingga 2019, pihak Mimihetty Layani sebagai komisaris Kahayan Karyacon mempersoalkan terbitnya akta notaris yang dibuat dalam rangka menyelamatkan perusahaan agar tetap eksis secara legal dan dapat melayani 200-an karyawannya. Kelalaian kedua pihak (Dewan Komisaris dan Dewan Direksi) yang tidak pernah mengadakan RUPS hanya ditimpakan kepada satu pihak, yakni Dewan Direksi, secara khusus kepada Leo Handoko.

Melalui kuasa hukumnya, Nico, Mimihetty kemudian melaporkan Leo Handoko dan kawan-kawan (Chiang Sie Fam, Feliks, dan Ery Biaya) ke Bareskrim Mabes Polri pada November 2019. Seperti sudah dapat diduga, laporan dari istri boss perusahaan Kopi Kapal Api itu mulus melenggang masuk ke SPKT Bareskrim, dan dalam waktu singkat telah berproses di Unit IV Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus). Kasus ini ditangani oleh penyidik bernama AKBP Dr. Binsan Simorangkir, SH, MH. Dari sini, mulailah proses kriminalisasi atas Leo Handoko, dkk, dengan mencari-cari kesalahan yang bersangkutan dan pasal-pasal pidana yang dapat disangkakan. Sejauh ini, hanya Leo Handoko yang terus diproses dan dijadikan tersangka.

Oleh oknum penyidik Tipideksus Bareskrim Polri itu, Leo, dkk selanjutnya menjadi obyek pemerasan aka pemalakan. Berdasarkan investigasi Cacing Tanah PPWI, hasil pemerasan yang dilakukan oknum bergelar doktor itu adalah berbentuk sebuah ruko tiga pintu di wilayah Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, senilai kurang-lebih 200 juta rupiah [3].

Rekayasa kasus perdata menjadi pidana dengan menetapkan Leo Handoko sebagai tersangka melanggar pasal 263 dan 266 KUHPidana tentang pemalsuan dokumen itu menyebabkan munculnya kebingungan bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU). Bagaimana tidak, sangkaan pelanggaran pasal yang ditetapkan oleh penyidik Binsan Simorangkir tidak didukung oleh alat bukti yang memadai. Akhirnya, JPU terjebak dalam pembuatan dakwaan ngibul dengan memasukan pasal 378 tentang penipuan secara illegal alias menyalahi KUHAP dalam surat dakwaan [4].

Rangkaian persidangan atas kasus kriminalisasi pengusaha Kahayan Karyacon itu digelar di Pengadilan Negeri Serang, sejak Januari 2021. Seperti sudah dapat diduga, JPU kesulitan menghadirkan saksi-saksi yang kesaksiannya dapat dijadikan pedoman pasti dan meyakinkan dalam menelaah kasus pidana pemalsuan maupun penggelapan yang disangkakan kepada Leo Handoko. Tidak ada satupun saksi yang dihadirkan JPU di persidangan yang mampu mengatakan dan menjelaskan secara pasti bahwa Leo Handoko benar memberikan keterangan palsu dalam Akta Otentik yang mengakibatkan kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP dimaksud [5].

Baca juga -->  Kunker Ke Polres Konsel, Kapolda Sultra Resmikan Kantor Satlantas dan Polsek Atari Jaya

Akibat dari rentetan utak-atik hukum, mulai dari rekayasa kasus perdata ke pidana, mencocok-cocokan pasal yang dapat disangkakan, minimnya alat bukti tindak pidana yang dituduhkan, hingga ke pembuatan dakwaan ngibul dan kehadiran para saksi abal-abal (tidak mengetahui, tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak merasakan terjadinya perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa Leo Handoko), maka muncullah tuntutan ngawur. JPU merasa yakin Leo Handoko bersalah telah melakukan tindak pidana sehingga layak dituntut 5 tahun kurungan penjara [6].

Tuntutan lima tahun itu sudah berlebihan, karena selama proses persidangan, fakta-fakta menunjukkan kurangnya atau minimnya bukti yang membuktikan bahwa terdakwa ini melakukan apa yang dituduhkan dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP. Demikian kata Dolfie Rompas, salah satu penasehat hukum Leo Handoko.

JPU dengan tidak malu-malu telah menempatkan dirinya sebagai sosok yang “mentang-mentang” berwenang menetapkan dakwaan dan tuntutan dengan membuat dakwaan ngibul dan tuduhan yang tidak berdasar. Sebuah tuduhan yang tidak dapat dibuktikan di dalam persidangan, dan hanya berdasarkan BAP hasil rekayasa oknum penyidik Binsan Simorangkir, dengan seenaknya menuntut Leo Handoko dengan 5 tahun penjara.

Kini, harapan yang tersisa bagi direktur Kahayan Karyacon itu adalah kecerdasan dan kebijaksanaan majelis hakim yang mengadili kasus ini. Jika Hakim Ketua Erwantoni bersama dua hakim anggota, Diah Tri Lestari dan Ali Mudirat, memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang memadai, dan didukung oleh karakter hakim sejati yang bermoral tinggi, arif dan bijaksana, maka kebenaran dan keadilan dapat dihadirkan di persidangan putusan akhir kasus ini pada beberapa minggu ke depan. Semoga. (***)

 

WARTAWAN